Maksudnya umrah kejar sensasi itu adalah orang yang umrah bukan murni atas dasar ketaatan, tapi cuma ingin merasakan bagaimana rasanya umrah. Yang dicari bukan murni ridha Allah, tetapi seperti apa rasanya naik pesawat, rasanya tidur di hotel di Saudi, suasana di Makkah dan Madinah, suasana shalat di Masjidil Haram dan Nabawi, seperti apa rasanya thawaf, sai’, i’tikaf dan tarawih di Masjidil Haram atau Nabawi, dan lain-lain. Yang dicari suananya, vibe-nya, sensasinya.

Apakah ada yang seperti ini? Banyak

Tanda utama orang yang hanya kejar sensasi dari umrah itu satu: dia tidak berusaha melakukan umrahnya sebaik mungkin. Tidak berusaha sebaik mungkin melaksanakan sunnah-sunnahnya, atau membersihkannya dari hal-hal yang bisa merusaknya. Jika dirinci, tanda ini banyak wujudnya. Orang yang umrah tapi hartanya haram; pakaiannya tidak syari; pergaulannya tidak syari; proses keberangkatannya abu-abu; tidak didampingi mahram jika dia perempuan; melanggar peraturan setempat di sana; dll.

Orang yang seperti ini biasanya umrahnya tidak membekas, walaupun dilakukan berkali-kali. Ketika dia pulang, yang dibawa hanya kenangan, kenangan melakukan ini dan itu di Tanah Suci, bukan usaha bertakwa kepada Allah.

Fenonema cari sensasi ini tidak terjadi di ibadah umrah saja, tetapi juga menjangkit ibadah lain. Haji, shalat tarawih, buka puasa, kajian, daurah, dan lain sebagainya. Maka seyogyanya para dai mengingatkan ummat dari fenomena buruk ini. Apalagi di zaman semua serba FOMO (“fear of missing out” alias takut ketinggalan tren). Dan jangan sampai justru dai atau ustadznya yang terjangkit penyakit yang sama.