Untuk memahami kenapa kajian itu boleh berbayar, perlu dimulai dari membedakan antara kegiatan dakwah dan ta’lim.
Karakteristik dakwah para Nabi itu:
- Mendatangi tanpa diminta.
- Sasaran dakwah biasanya orang yang belum menerima.
Adapun karakteristik ta’lim itu:
- Mu’allim/guru didatangi dan bisa juga mendatangi jika diminta.
- Sasaran ta’lim biasanya orang yang memang berminat mencari ilmu.
Nah kebanyakan yang dilakukan oleh para asatidz di negeri itu masih dalam kategori ta’lim. Kajian, khutbah, daurah, halaqah Al-Qur’an, dll itu biasanya pemateri itu datang karena diminta. Unsur permintaan itu lah yang menjadikan pengambilan upah dari ta’lim itu diperbolehkan oleh para ulama karena ada unsur pemberian jasa di situ dari sisi pemateri.
Bagaimana kalau pemateri/guru/mu’allim itu didatangi oleh murid di rumahnya? Apakah masih boleh mengambil upah? Jawabannya adalah boleh karena dia masih memberikan jasa dengan menyisihkan sebagian waktunya untuk mengajar, yang bisa saja dia gunakan untuk keperluan pribadinya.
Nah untuk kegiatan ta’lim ini kurang pas kalau diterapkan ayat-ayat dakwah para Nabi yang tidak meminta upah itu karena memang beda karakter.
Lalu apa tidak ada ustadz/da’i yang melakukan dakwah ala Nabi di Indonesia? Jawabannya tentu ada, hanya saja memang upaya dakwah seperti itu jarang terdengar karena umumnya tidak diiklankan. Kemudian juga ada SKB 3 Menteri Tahun 1979 tentang penyiaran agama kepada pemeluk agama lain. Dai muslim kebanyakan mematuhi SKB 3 Menteri itu meskipu dai agama lain banyak yang melanggar. Lalu ada juga aturan tentang kegiatan keramaian di tempat umum sehingga para dai tidak bisa seenaknya pula berorasi di tempat-tempat umum. Makanya, kebanyakan dakwah ala Nabi di negeri kita itu sasarannya adalah suku-suku pedalaman yang masih menganut agama kepercayaan.
Catatan: Pembedaan antara kegiatan dakwah dan ta’lim itu bukan berarti dalam dakwah tidak ada ta’lim atau sebaliknya. Tapi, lebih pada melihat unsur yang paling dominan dalam masing-masing kegiatan itu. Dalam upaya dakwah tetap ada ta’lim, tetapi unsur mengajak lebih dominan daripada mengajarkan. Begitu pula sebaliknya.
Wallahu a’lam.